Eks Dirut Polinema Malang Sangkal Terlibat Korupsi Lahan Kampus

Eks Dirut Polinema Malang Sangkal Terlibat Korupsi Lahan Kampus
Sumber: CNNIndonesia.com

Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017-2021, Awan Setiawan, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) menyatakan penetapan tersangka tersebut didasari dugaan pelanggaran prosedur dalam pengadaan tanah seluas 7.104 meter persegi di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Malang.

Awan, melalui kuasa hukumnya Didik Lestariyono, menyatakan akan mengajukan praperadilan. Ia menilai penetapan tersangka prematur dan tidak proporsional, melanggar prinsip due process of law. Didik menegaskan bahwa pengadaan tanah telah dilakukan secara terbuka dan akuntabel, sesuai mekanisme dan regulasi yang berlaku.

Menurut Didik, pengadaan tanah dilakukan oleh Tim Pengadaan Tanah (Tim 9) yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Direktur Polinema. Tim ini bertanggung jawab atas seluruh tahapan, mulai survei lokasi hingga transaksi. Harga pembelian tanah sebesar Rp6 juta per meter persegi, termasuk pajak, dinilai wajar berdasarkan data harga pasar dari instansi resmi seperti kelurahan, kecamatan, dan BPN.

Didik menekankan bahwa Awan tidak melakukan negosiasi langsung dengan penjual tanah. Seluruh kewajiban perpajakan, termasuk BPHTB dan PPh dari penjual, ditanggung sepenuhnya oleh pemilik tanah, bukan Polinema. Proses ini telah diakhiri dengan penandatanganan Akta Pelepasan Hak, dan tanah tersebut telah resmi bersertifikat atas nama negara serta tercatat dalam Daftar Barang Milik Negara (BMN).

Didik berpendapat, masalah muncul bukan karena kesalahan dalam proses pengadaan, melainkan karena penghentian pembayaran sisa harga oleh pimpinan Polinema setelah Awan tidak lagi menjabat. Hal ini memicu sengketa hukum dengan pemilik tanah. Ia juga menyoroti ketidakadaan hasil audit BPK atau BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara.

Didik menilai penetapan tersangka tanpa bukti kerugian negara yang jelas merupakan tindakan tergesa-gesa dan tidak adil. Ia membela Awan sebagai akademisi dan pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun, menjunjung tinggi integritas dan tata kelola baik. Semua kebijakan, katanya, berdasarkan pertimbangan kolegial, regulasi, dan semangat memajukan institusi.

Tuduhan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Kejati Jatim menduga Awan mengabaikan prosedur resmi dalam pengadaan tanah. Mereka menyebutkan tidak dibentuknya panitia pengadaan dan tidak digunakannya jasa penilai independen (appraisal). Harga tanah Rp6 juta per meter persegi dianggap tanpa dasar yang sah. Pembayaran bertahap hingga Rp22,6 miliar dilakukan tanpa pencatatan hak atas tanah oleh Polinema.

Selain itu, Kejati Jatim menuding adanya dokumen bermasalah seperti backdate dan tanpa akta jual beli. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp22,624 miliar. Awan dan satu tersangka lain, HS, kini ditahan dan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 (UU Tipikor) dan subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Analisis dan Perbandingan Pendapat

Perbedaan pendapat antara pihak Awan Setiawan dan Kejati Jatim sangat mencolok. Awan dan kuasa hukumnya menekankan legalitas dan transparansi proses pengadaan tanah, menganggap tuduhan korupsi tidak berdasar karena belum ada audit yang membuktikan kerugian negara. Sementara itu, Kejati Jatim menunjuk pada dugaan pelanggaran prosedur yang mengakibatkan kerugian negara yang signifikan.

Perlu ditekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan tanah, terutama yang melibatkan dana negara. Proses audit yang independen dan menyeluruh sangat krusial untuk memastikan kebenaran dan keadilan dalam kasus ini. Proses praperadilan yang akan diajukan Awan Setiawan diharapkan dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan seorang akademisi dan pejabat publik. Hasil akhir dari proses hukum akan memberikan dampak signifikan, baik bagi Awan Setiawan pribadi maupun citra Polinema dan sistem pengadaan aset pemerintah.

Kesimpulannya, kasus ini kompleks dan memerlukan penyelidikan yang teliti dan mendalam untuk memastikan keadilan. Baik pihak Awan Setiawan maupun Kejati Jatim perlu memberikan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung klaim masing-masing. Publik menantikan proses hukum yang transparan dan objektif untuk mengungkap kebenaran.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *