Sebuah kasus memilukan mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seorang siswi sekolah dasar (SD) berusia 14 tahun menjadi korban prostitusi online yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri. Perbuatan tersebut mengakibatkan korban hamil dan melahirkan bayi prematur yang kini dirawat intensif di rumah sakit. Bayi tersebut lahir dengan berat hanya 1,7 kilogram dan dirawat di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD NTB. “(Posisi bayi) masih di NICU,” ujar Kepala Dinas Sosial Mataram, Lalu Syamsul Adnan pada Rabu (14/5).
Kasus ini terungkap setelah beredar isu mengenai seorang siswi SD yang melahirkan. Berbagai pihak, termasuk Dinas Sosial, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, dan instansi terkait lainnya kemudian turut menangani kasus ini. “Awalnya kasus (mencuat) karena ada isu anak SD yang melahirkan, kemudian muncul (permasalahan) BPJS, dan lain-lain. Akhirnya, kasus ini tertangani teman-teman Dinsos, LPA Mataram, dan banyak pihak,” ungkap Ketua LPA Mataram Joko Jumadi.
Polda NTB telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini: kakak korban, ES (22), dan seorang pengusaha, MAA, yang memesan jasa prostitusi anak tersebut. ES menjual adiknya sendiri kepada MAA seharga Rp 8 juta dengan iming-iming akan membelikan korban smartphone. “Tersangka MAA sebelumnya memang mengajukan atau meminta orang baru, istilah katanya orang baru. Kemudian, setelah bertemu anak korban di suatu hotel, terjadi peristiwa persetubuhan. Atas permintaan tersebut telah dipenuhi, maka tersangka MAA menyerahkan sejumlah uang yang nilainya Rp8 juta kepada tersangka ES,” jelas Kasubdit IV Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati.
MAA, yang merupakan seorang pengusaha pakan ayam di Mataram, diduga sering memesan siswi SD di bawah umur di berbagai hotel. “LPA Mataram menemukan (nama om-om itu) melalui investigasi panjang dan akhirnya ketemulah oknum si Om Andi (Abdullah),” kata Joko. Korban diduga hamil akibat hubungan dengan salah satu pria langganan MAA yang diinisialkan “Om A”. Baik ES maupun MAA dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) atau Pasal 88 juncto Pasal 76i UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Potret Kemiskinan dan Ketimpangan di NTB
Motif ekonomi diduga menjadi latar belakang kakak kandung korban tega menjual adiknya. Kemiskinan memang menjadi masalah struktural di NTB, yang sempat masuk dalam daftar 10 provinsi termiskin di Indonesia. Meskipun pada September 2024 NTB sudah keluar dari daftar tersebut, angka kemiskinan masih cukup tinggi. Data BPS NTB menunjukkan jumlah penduduk miskin pada September 2024 mencapai 658.600 orang, meski mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya.
Garis kemiskinan di NTB pada September 2024 tercatat sebesar Rp540.339,00/kapita/bulan. Artinya, setiap kepala keluarga dengan pengeluaran bulanan di bawah angka tersebut dikategorikan miskin. Selain kemiskinan, NTB juga menghadapi masalah ketimpangan ekonomi yang cukup besar, dengan gini ratio sebesar 0,364 pada September 2024, menempati peringkat 12 provinsi dengan ketimpangan tertinggi.
Dampak Kemiskinan Terhadap Eksploitasi dan Pernikahan Anak
Ketimpangan ekonomi, terbatasnya akses pendidikan, dan minimnya lapangan kerja mendorong banyak keluarga terjerat dalam siklus kemiskinan antargenerasi. Situasi ini rentan memicu eksploitasi dan pernikahan anak. Meskipun angka dispensasi perkawinan anak mengalami penurunan pada tahun 2024 (581 kasus dari 723 kasus pada 2023), NTB tetap menjadi daerah rawan perkawinan anak. Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak, sayangnya, tidak mengatur sanksi, sehingga dinilai kurang efektif.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik hal ini dan menekankan perlunya sanksi yang tegas dalam regulasi. KPAI juga menyoroti peran adat dan agama sebagai faktor yang turut berkontribusi pada tingginya angka perkawinan anak di NTB. Sebagai alternatif, UU TPKS bisa menjadi rujukan, yang mengatur ancaman pidana hingga denda ratusan juta rupiah bagi penyelenggara pernikahan dini.
Indeks Kriminalitas dan Perlindungan Anak
Kemiskinan struktural dan ketimpangan ekonomi berkontribusi pada peningkatan indeks kriminalitas. Meskipun data kriminalitas NTB tahun 2025 belum tersedia, data tahun 2024 menunjukkan penurunan angka kriminalitas di Kota Mataram sebesar 34,07 persen. Namun, perlu diingat bahwa kejahatan seksual dan eksploitasi anak tetap masuk dalam daftar kasus yang ditangani. Ini menunjukkan bahwa meskipun angka kriminalitas keseluruhan menurun, ancaman terhadap anak-anak, khususnya perempuan, masih tinggi dan memerlukan penanganan komprehensif.
Kasus siswi SD di Lombok menjadi bukti nyata betapa rentannya anak-anak, khususnya di tengah kondisi kemiskinan dan ketimpangan sosial yang tinggi. Perlu upaya sistematis dan terintegrasi dari berbagai pihak, mulai dari penegakan hukum yang tegas, program pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, serta penguatan sistem perlindungan anak, untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan. Pemerintah Kota Mataram telah berjanji untuk memberikan bantuan kedaruratan kepada ibu dan bayinya, serta memfasilitasi layanan pemulihan mental dan spiritual bagi korban.
Perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan program pemerintah yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan perlindungan anak di NTB. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat sipil sangat krusial untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi anak-anak dari berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan.