Ancaman tarif tambahan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menghantui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Rio de Janeiro, Brasil. Peringatan keras Trump disampaikan melalui media sosial pada Minggu (6/7/2025) malam waktu setempat, mengancam negara-negara anggota BRICS dengan tarif dagang tambahan 10 persen. Ancaman ini meningkatkan ketegangan hubungan dagang antara Washington dan negara-negara berkembang.
Pernyataan Trump menyebutkan setiap negara yang berkoordinasi dengan kebijakan BRICS yang dianggap anti-Amerika akan dikenai sanksi tersebut. Blok BRICS, yang kini beranggotakan 11 negara, mewakili hampir separuh populasi dunia dan sekitar 40 persen output ekonomi global. Ancaman ini menambah kompleksitas dinamika geopolitik global yang sedang berlangsung.
Tanggapan Dingin dari Anggota BRICS
Respons negara-negara BRICS terhadap ancaman Trump beragam. China, Rusia, dan Afrika Selatan memberikan tanggapan hati-hati. Mereka menekankan kerja sama BRICS tidak bertujuan menantang AS.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyatakan perang dagang merugikan semua pihak dan proteksionisme bukanlah solusi. BRICS, menurutnya, adalah platform kerja sama antar negara berkembang yang mendorong keterbukaan dan saling menguntungkan. Blok ini, tegasnya, tidak ditujukan untuk melawan negara tertentu.
Rusia juga menyampaikan pernyataan serupa. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan kerja sama BRICS tidak pernah dan tidak akan pernah diarahkan kepada negara ketiga. Hal ini menunjukkan konsensus di antara beberapa anggota BRICS untuk menghindari eskalasi konflik dengan AS.
Reaksi Keras Presiden Brasil dan Dinamika Internal BRICS
Berbeda dengan China dan Rusia, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva memberikan respons yang lebih tegas. Ia menyatakan Brasil adalah negara berdaulat dan tidak menginginkan “kaisar”.
KTT BRICS kali ini juga menyoroti dinamika internal. Meskipun awalnya dibentuk sebagai forum kerja sama ekonomi, BRICS kini meliputi negara-negara dengan kepentingan geopolitik yang beragam. Terdapat anggota yang merupakan rival utama AS seperti Iran dan Rusia, dan beberapa sekutu Washington dari berbagai wilayah.
Beberapa negara, seperti Arab Saudi, berupaya menjaga keseimbangan dengan menghindari retorika anti-AS. Menteri Luar Negeri Arab Saudi bahkan absen dari sesi pembicaraan dan foto bersama. Hal ini menunjukkan upaya beberapa anggota untuk menavigasi kompleksitas hubungan mereka dengan AS dan BRICS.
Absennya Xi Jinping dan Putin serta Isu Iran
Kekuatan politik KTT BRICS tahun ini dianggap melemah karena absennya Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini merupakan ketidakhadiran pertama Xi Jinping sejak menjabat 12 tahun lalu.
Putin, yang menghadapi dakwaan kejahatan perang atas invasi Ukraina, berpartisipasi secara virtual. Dalam pidatonya, Putin menyatakan BRICS telah menjadi pemain kunci dalam tata kelola global. Ketiadaan dua pemimpin utama ini tentu saja memengaruhi dinamika dan hasil KTT.
Selain ancaman tarif, para pemimpin BRICS mengecam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran oleh AS dan Israel. Pernyataan ini menunjukkan solidaritas terhadap Iran, anggota baru BRICS. Isu ini memperlihatkan kompleksitas kepentingan dan tantangan yang dihadapi oleh kelompok BRICS.
Trump sebelumnya telah beberapa kali mengancam tarif sepihak, tetapi kemudian mundur setelah menimbulkan gejolak pasar. Kali ini, ia kembali memberi ultimatum kepada mitra dagang AS untuk mencapai kesepakatan sebelum 1 Agustus, atau menghadapi tarif tambahan yang lebih tinggi. Ancaman ini masih memerlukan pemantauan ketat terhadap dampaknya pada ekonomi global.
Ancaman tarif Trump, meskipun menimbulkan ketegangan, juga menyoroti kompleksitas hubungan ekonomi dan geopolitik global. Reaksi beragam dari negara-negara BRICS menunjukkan upaya mereka untuk menyeimbangkan kerja sama regional dengan hubungan mereka dengan AS. Perkembangan selanjutnya perlu dipantau untuk melihat bagaimana situasi ini akan berdampak pada ekonomi global dan hubungan antar negara.





