Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melayangkan desakan tegas kepada Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Komnas Perempuan meminta Fadli Zon untuk menarik pernyataannya yang membantah adanya pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998. Lebih lanjut, Komnas Perempuan juga mendesak permintaan maaf kepada para penyintas dan masyarakat luas.
Pernyataan kontroversial Fadli Zon ini telah memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Komnas Perempuan menilai pernyataan tersebut tidak bertanggung jawab dan melukai hati para korban.
Komnas Perempuan Desak Fadli Zon Bertanggung Jawab
Anggota Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menyatakan bahwa penarikan pernyataan dan permintaan maaf merupakan bentuk tanggung jawab moral. Hal ini juga menunjukkan komitmen terhadap prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Yuni, pengakuan atas kebenaran merupakan fondasi penting bagi proses pemulihan yang adil dan bermartabat bagi para korban. Menghormati kebenaran dan proses pemulihan korban merupakan hal krusial dalam konteks ini.
Laporan Resmi TGPF dan Pengakuan Negara
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait Tragedi Mei 1998 telah mengakui adanya pelanggaran HAM serius. Laporan tersebut mencatat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan.
Laporan TGPF diajukan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan negara atas kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998. Pengakuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998.
Komnas Perempuan menekankan bahwa dokumen TGPF merupakan produk resmi negara yang harus dihormati. Semua pejabat negara didesak untuk menghormati dokumen ini dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat.
Plt Wakil Ketua Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak, turut menyampaikan seruan tersebut. Pihaknya meminta semua pejabat negara untuk memegang teguh komitmen HAM.
Fadli Zon Bantah Adanya Pemerkosaan Massal
Sebelumnya, Fadli Zon dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa pemerkosaan massal di Tragedi Mei 1998 hanyalah rumor. Ia mengklaim tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
Fadli Zon bahkan menyatakan pernah membantah keterangan tim pencari fakta mengenai pemerkosaan massal tersebut. Ia berargumen bahwa penulisan sejarah harus mempersatukan bangsa, bukan memecah belah.
Saat ini, Kementerian Kebudayaan tengah merencanakan penulisan ulang sejarah Indonesia. Fadli Zon menginginkan pendekatan positif dalam penulisan ulang sejarah ini.
Penulisan ulang sejarah, menurut Fadli Zon, tidak akan mencari kesalahan pihak tertentu dalam sejumlah peristiwa. Hal ini dinilai penting untuk mempersatukan bangsa, bukan memecah belah.
Namun, pernyataan Fadli Zon ini jelas bertentangan dengan temuan TGPF dan pengakuan resmi negara atas kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998. Pernyataan ini telah menimbulkan kontroversi dan kecaman.
Pernyataan Fadli Zon yang mengabaikan fakta sejarah dan penderitaan para korban kekerasan seksual ini sangat memprihatinkan. Komitmen terhadap HAM dan pengakuan atas kebenaran harus diutamakan dalam upaya menciptakan keadilan dan rekonsiliasi bagi para penyintas. Upaya penulisan ulang sejarah seharusnya berlandaskan fakta dan menghormati hak-hak para korban, bukannya malah mengingkari realita yang menyakitkan.