Keadilan Terancam? Bongkar Misteri Hukum, Bagian 1

Keadilan Terancam? Bongkar Misteri Hukum, Bagian 1
Sumber: Kompas.com

Vonis ringan bagi tiga terdakwa korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menuai sorotan. Hakim menjatuhkan hukuman lebih rendah dari tuntutan Jaksa.

Kasus ini melibatkan mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi Sylvana; Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, Satrio Wibowo; dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri, Ahmad Taufik. Ketiganya dinyatakan bersalah.

Vonis Kontras dalam Kasus Korupsi

Budi Sylvana divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan. Vonis ini kontras dengan putusan terhadap Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA).

Zarof Ricar divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia terbukti melakukan permufakatan jahat berupa suap dan menerima gratifikasi. Tuntutan awalnya 20 tahun penjara.

Kasus Zarof Ricar melibatkan penggeledahan yang mengungkap harta fantastis: Rp 920 miliar uang dan 51 kg emas. Jaksa menilai perbuatannya mencederai kepercayaan publik dan menunjukkan motif korupsi berulang.

Sementara itu, hakim membebaskan terdakwa korporasi dalam kasus korupsi ekspor CPO. Perbuatan mereka dinilai bukan permufakatan jahat, melainkan pelaksanaan kebijakan Kementerian Perdagangan.

Kejaksaan Agung mencurigai adanya suap dalam putusan tersebut. Sejumlah hakim kini ditetapkan sebagai tersangka, termasuk mantan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.

Keadilan Hukum: Antara Ideal dan Realita

Putusan-putusan kontroversial ini mengungkap celah dalam sistem peradilan. Keadilan, yang seharusnya terwujud secara konkret, seringkali ternodai oleh berbagai faktor.

Interpretasi hukum yang kaku, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan rasa keadilan masyarakat, menjadi masalah utama. Hukum seharusnya alat untuk mencapai keadilan, bukan tujuannya sendiri.

Integritas hakim juga menjadi sorotan. Suap, tekanan politik, dan kepentingan tersembunyi dapat memengaruhi putusan. Kompetensi hakim yang rendah juga berkontribusi pada putusan yang cacat.

Sistem hukum sendiri memiliki celah. Intervensi dari pihak eksekutif, korporasi besar, atau militer dapat membengkokkan proses peradilan. Manipulasi bukti dan intimidasi saksi juga sering terjadi.

Tekanan opini publik dan media juga dapat memengaruhi hakim yang kurang berpendirian. Kelemahan sistem pengawasan memperparah situasi.

Krisis Kelembagaan dan Tantangan Akuntabilitas

Putusan yang menyimpang memicu krisis kelembagaan. Pengadilan, sebagai penjaga keadilan, kehilangan legitimasinya di mata publik.

Kepercayaan publik pada institusi peradilan menurun karena gagal menghadirkan keadilan. Dilema antara independensi dan akuntabilitas hakim menjadi sangat krusial.

Komisi Yudisial (KY) berperan penting sebagai kontrol eksternal. Namun, kewenangannya yang terbatas seringkali menjadi perdebatan.

Integritas pribadi hakim menjadi fondasi utama. Independensi tanpa integritas hanya ilusi. Perbaikan membutuhkan lebih dari sekadar regulasi atau struktur kelembagaan.

Mengembalikan marwah keadilan membutuhkan revolusi, bukan sekadar reformasi. Penguatan integritas dan moralitas hakim sangat penting, termasuk penegakan kode etik yang tegas.

Peningkatan kompetensi dan profesionalisme hakim juga mutlak. Transparansi dan akuntabilitas proses peradilan harus ditingkatkan. Peran KY perlu diperkuat.

Masyarakat dan media berperan sebagai pengawas. Tekanan publik yang kuat dan konsisten menjadi kunci reformasi sejati. Putusan yang jauh dari keadilan menandakan dislokasi antara cita-cita hukum dan praktiknya.

Rekonstruksi keadilan memerlukan pendekatan multidimensional: penguatan moral dan etika, reformasi sistematis, dan partisipasi publik yang konstruktif. Hanya dengan demikian, keadilan sejati dapat ditegakkan.

Pos terkait