Kuasai Batas Kewenanganmu: Panduan Retret Transformatif

Kuasai Batas Kewenanganmu: Panduan Retret Transformatif
Sumber: Kompas.com

Retret kepala daerah yang digelar di IPDN Jatinangor pada 22-26 Juni 2025 menimbulkan pertanyaan penting tentang relasi pemerintah pusat dan daerah. Acara yang dihadiri 84 kepala daerah ini bertujuan untuk pembinaan, penyamaan visi, dan peningkatan kapasitas dalam mendukung program nasional. Namun, di tengah semangat otonomi daerah yang telah berlangsung sejak 1999, kegiatan ini perlu dikaji secara kritis. Khususnya terkait bentuk, substansi, dan batas kewenangan pusat dalam membina pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.

UUD 1945 secara jelas mengatur pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis dan bertanggung jawab kepada rakyat. Mereka bukan perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Namun, konstitusi juga memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Konstitusi dan Relasi Pusat-Daerah: Keseimbangan yang Rentan

Implementasi otonomi daerah dan pembinaan pusat harus seimbang. Keduanya tidak bertentangan, namun pembinaan yang berlebihan dapat mengubah relasi setara menjadi subordinatif.

Tanggung jawab utama kepala daerah adalah kepada konstituennya, bukan pemerintah pusat. Relasi mereka dengan pemerintah pusat bersifat koordinatif, bukan hirarkis.

Format retret yang terpusat, satu arah, dengan jadwal ketat dan simbolisme tinggi berpotensi menggeser relasi tersebut dari prinsip otonomi daerah.

Di balik narasi pembinaan, terkadang terdapat upaya penyeragaman. Pembinaan yang mengarah pada penyesuaian narasi pembangunan tanpa ruang reflektif justru berubah menjadi pengarahan.

UU No. 23 Tahun 2014 menetapkan pembinaan melalui pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi. Namun, pembinaan harus memenuhi asas legalitas dan proporsionalitas.

Pembinaan yang tertutup, tanpa indikator terukur, dan beraroma instruksi politik perlu dipertanyakan. Bentuk seperti itu bisa melampaui batas kewenangan yang seharusnya.

Kepala daerah adalah aktor politik independen yang menjalankan mandat rakyat. Pembinaan yang berlebihan dapat melemahkan hubungan langsung antara rakyat dan kepala daerah.

Gejala Sentralisasi Baru: Ancaman terhadap Demokrasi Lokal

Desentralisasi pascareformasi menunjukkan gejala kontradiktif. Kewenangan daerah dijamin, namun intervensi pusat semakin meningkat.

Retret kepala daerah, meskipun sah secara hukum administratif, dapat diinterpretasi sebagai pembentukan barisan kekuasaan dari pusat ke daerah.

Hal ini mengindikasikan munculnya sentralisasi baru secara simbolik dan bertahap. Reformasi bertujuan mengakhiri sentralistik yang membatasi perbedaan dan inisiatif lokal.

Pembinaan tetap dibutuhkan, namun pendekatannya perlu diperbarui. Format retret yang tertutup dan satu arah sudah tidak memadai.

Alternatifnya, forum koordinasi yang lebih terbuka dan dialogis perlu dipertimbangkan. Pertukaran gagasan dan praktik baik lebih efektif daripada pengulangan materi dari atas ke bawah.

Kurikulum pembinaan juga harus disesuaikan dengan tipologi daerah. Materi yang disamaratakan tidak akan efektif meningkatkan kapasitas.

Teknologi pembelajaran jarak jauh dapat menjadi pelengkap efektif, memberikan fleksibilitas akses materi sesuai kebutuhan dan dinamika lokal.

Menyeimbangkan Pembinaan dan Otonomi: Menuju Kolaborasi yang Sehat

Retret kepala daerah seharusnya bukan sekadar seremonial, melainkan cermin cara negara memandang kepala daerah: sebagai mitra setara atau hanya pelaksana kebijakan pusat.

Pemerintah pusat memiliki fungsi pembinaan, namun kepala daerah tetap pemegang mandat rakyat. Pembinaan tidak boleh melewati batas.

Jika batas kewenangan dilampaui, maka yang terkorban bukan hanya otonomi, tetapi juga legitimasi demokrasi lokal. Batas tersebut perlu dihormati dan dijaga.

Retret hendaknya menjadi ruang tumbuh bersama, bukan alat kendali, berlandaskan semangat konstitusi dan prinsip desentralisasi yang sehat.

Dengan demikian, pembinaan yang efektif akan memberdayakan, bukan menundukkan kepala daerah, menghasilkan pemerintahan yang kuat dan akuntabel di tingkat lokal maupun nasional.

Pos terkait