Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung, tampaknya telah mengabaikan seruan rekonsiliasi dan mengakhiri siklus balas dendam politik. Ia justru menyetujui penyelidikan baru terhadap mantan Presiden Yoon Suk Yeol dan istrinya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan berlanjutnya praktik politik balas dendam di Korea Selatan.
Sejarah panjang politik Korea Selatan menunjukkan kecenderungan pemimpin yang baru terpilih untuk menyelidiki pendahulunya. Enam presiden terakhir, termasuk Roh Moo-hyun, Lee Myung-bak, Park Geun-hye, Moon Jae-in, dan Yoon Suk Yeol sendiri, telah menghadapi penyelidikan atau tuntutan hukum setelah meninggalkan jabatan mereka.
Janji yang Tak Tertebus: Akankah Lee Jae-myung Memutus Siklus Balas Dendam?
Sebelum pemilihan presiden, Lee Jae-myung berjanji akan mengakhiri siklus balas dendam politik. Ia mengklaim pengalamannya sebagai korban serangan politik membuatnya memahami pentingnya persatuan. Namun, janji tersebut tampaknya hanya retorika kampanye semata.
Seminggu setelah terpilih, Lee menandatangani undang-undang yang mengamanatkan penyelidikan terhadap Yoon Suk Yeol atas deklarasi darurat militer dan istrinya atas dugaan korupsi. Hal ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk mantan politisi dari Partai Kongres Politik Baru, Kim Sang-woo. Kim menilai situasi ini sebagai kesempatan yang hilang untuk rekonsiliasi.
Bayang-Bayang Hukum: Jejak Kasus Hukum Lee Jae-myung
Ironisnya, Lee Jae-myung sendiri memiliki riwayat panjang kasus hukum. Sejak 2018, ia telah menghadapi berbagai tuduhan, termasuk penyebaran informasi palsu, pelanggaran undang-undang kampanye, dan dugaan korupsi.
Ia bahkan pernah diperiksa terkait kasus pidana pada 2023, menjadi politisi pertama yang menjabat sejak 1998 yang diperiksa terkait kasus pidana. Tuduhan lain yang dialamatkan kepadanya meliputi penyuapan, korupsi, penggelapan, konflik kepentingan, dan penyaluran dana ilegal ke Korea Utara.
Kasus Hukum yang Berkelanjutan
Meskipun menghadapi berbagai tuduhan, Lee Jae-myung berhasil menunda beberapa keputusan pengadilan yang dapat membuatnya tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Pada Juni 2025, Mahkamah Agung mengonfirmasi hukuman penjara untuk salah satu penasihat terdekatnya terkait kasus dana Korea Utara. Pengadilan Tinggi Seoul juga menunda persidangan ulang atas tuduhan pelanggaran hukum pemilu hingga Lee meninggalkan jabatannya.
Kekhawatiran Akan Konsentrasi Kekuasaan dan Masa Depan Politik Korea Selatan
Para ahli, seperti Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju, khawatir atas konsentrasi kekuasaan di tangan Lee Jae-myung. Meskipun Yoon Suk Yeol mungkin pantas dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, penyelidikan terhadap istrinya dianggap tidak perlu.
Kekhawatiran akan berlanjutnya politik balas dendam dan konsentrasi kekuasaan ini diperparah oleh lemahnya Partai Kekuatan Rakyat (PPP) setelah pemilu. Hal ini membatasi kemampuan partai oposisi untuk menjadi penyeimbang bagi kekuasaan Lee Jae-myung dan Partai Demokrat (DP). Masa depan politik Korea Selatan di bawah kepemimpinan Lee Jae-myung pun menjadi tanda tanya besar. Akankah janji rekonsiliasi hanya menjadi bualan kampanye belaka? Atau mungkinkah Lee akan mampu melepaskan dirinya dari bayang-bayang masa lalunya dan memimpin Korea Selatan menuju masa depan yang lebih baik? Hanya waktu yang akan menjawabnya.