Seorang mahasiswi berusia 19 tahun di Karawang, Jawa Barat, menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru ngajinya sendiri. Peristiwa ini menyoroti celah dalam penegakan hukum dan perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia, khususnya ketika menghadapi tekanan sosial budaya. Kasus ini mendesak evaluasi serius terhadap prosedur penanganan kasus serupa agar keadilan benar-benar ditegakkan.
Dugaan Kekerasan Seksual dan Perdamaian yang Kontroversial
Peristiwa mengerikan ini terjadi pada 9 April 2025 di rumah nenek korban di Kecamatan Majalaya. Pelaku, seorang guru ngaji yang juga kerabat dekat keluarga korban, berinisial J, datang dengan alasan silaturahmi.
Namun, J malah membawa korban ke kamar dan melakukan pelecehan seksual. Aksi bejat tersebut diketahui oleh nenek korban, dan warga segera mengamankan pelaku.
Kejadian ini seharusnya berujung pada proses hukum yang adil. Namun, pihak kepolisian Polsek Majalaya malah melakukan mediasi dan mendorong perdamaian antara korban dan pelaku.
Mediasi ini menghasilkan kesepakatan damai yang terbilang kontroversial: pelaku bersedia menikahi korban dengan syarat tidak saling menuntut.
Pernikahan dan Perceraian yang Memperparah Trauma
Pernikahan pun digelar. Ironisnya, pernikahan tersebut hanya berlangsung sehari. Korban dan pelaku langsung bercerai keesokan harinya.
Perceraian ini bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru semakin memperburuk kondisi psikologis korban. Trauma yang dialaminya semakin dalam.
Pengacara korban, Gary Gagarin, mengecam keras tindakan kepolisian yang tidak merujuk kasus ini ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Karawang.
Gary menyatakan, keluarga korban mendapat tekanan untuk menerima perdamaian demi menjaga reputasi desa. Tekanan tersebut semakin memperparah penderitaan korban dan keluarganya.
Dampak Jangka Panjang dan Lemahnya Penegakan Hukum
Akibat trauma yang dialaminya, korban mengalami gangguan psikologis berat dan bahkan berniat berhenti kuliah. Keluarga korban pun tidak luput dari intimidasi.
Mereka menerima ancaman dan aksi pelemparan batu ke rumah mereka. Pelaku, hingga saat ini, masih berkeliaran bebas dan tetap mengajar ngaji.
Kebebasan pelaku dan minimnya konsekuensi hukum yang dihadapi menjadi sorotan tajam publik. Kasus ini mengungkap lemahnya sistem perlindungan korban kekerasan seksual dan dominasi budaya patriarki yang seringkali mengorbankan kepentingan korban.
Minimnya Dukungan dan Perlindungan bagi Korban
Minimnya akses korban pada bantuan hukum dan perlindungan psikologis juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Kondisi ini memperparah trauma yang dialami korban dan menghambat proses pemulihan.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melaporkan kasus kekerasan seksual juga menjadi kendala. Banyak korban memilih bungkam karena takut stigma sosial dan tekanan dari lingkungan sekitar.
Perlunya Perubahan Sistemik
Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya reformasi sistemik dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual sangat dibutuhkan.
Penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual serta memberikan perlindungan dan dukungan yang memadai bagi para korban. Perubahan sikap dan perilaku masyarakat sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi korban kekerasan seksual.
Peristiwa ini bukanlah kasus yang terisolasi. Banyak kasus kekerasan seksual lainnya yang berakhir tanpa keadilan bagi korban karena berbagai faktor, termasuk tekanan sosial dan kelemahan sistem hukum. Kasus ini harus menjadi momentum untuk perubahan, agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Keadilan harus ditegakkan, dan korban harus mendapatkan perlindungan yang layak.
