Pemilu Nasional & Daerah Dipisah: Demokrasi Indonesia Lebih Baik?

Pemilu Nasional & Daerah Dipisah: Demokrasi Indonesia Lebih Baik?
Sumber: Suara.com

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuat keputusan penting yang berdampak pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Putusan tersebut memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Namun, dampak keputusan ini terhadap kualitas demokrasi Indonesia masih menjadi perdebatan.

Keputusan ini disambut dengan beragam reaksi. Sementara MK berpendapat pemisahan ini akan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan mempermudah proses demokrasi, beberapa pihak meragukan efektivitasnya dalam meningkatkan integritas penyelenggara pemilu.

Pemisahan Pemilu: Langkah Maju atau Sekadar Perubahan Teknis?

Lucius Karus, peneliti legislasi dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), mengungkapkan keraguannya atas dampak signifikan keputusan MK. Ia berpendapat bahwa perubahan teknis dalam penyelenggaraan pemilu, seperti pemisahan jadwal ini, bukanlah hal yang luar biasa.

Perubahan mekanisme penyelenggaraan pemilu hampir selalu terjadi menjelang setiap pemilu. Oleh karena itu, menurut Lucius, efektivitas putusan MK bergantung pada komitmen semua pihak terkait, termasuk DPR, pemerintah, partai politik, dan penyelenggara pemilu sendiri.

Integritas Penyelenggara Pemilu: Tantangan yang Tak Terselesaikan

Keberhasilan pemisahan jadwal pemilu dalam meningkatkan kualitas demokrasi tergantung pada komitmen semua pihak dalam menjaga integritas penyelenggara. Tanpa perubahan substansial dalam hal integritas, pemisahan jadwal hanyalah perubahan teknis belaka.

Lucius menekankan perlunya kesadaran dan keinginan dari partai politik untuk berbenah. Hanya dengan komitmen tersebut, DPR dan pemerintah dapat terdorong untuk membahas regulasi yang mendukung peningkatan integritas pemilu.

Putusan MK dan Permohonan Perludem

Putusan MK ini merupakan respons atas permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem mengajukan permohonan karena menilai sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai secara konvensional.

Selama ini, pemilu nasional dan daerah sering digelar serentak, sebuah praktik yang menurut MK menyulitkan proses demokrasi dan menghambat efektivitas pemerintahan. Ketua MK, Suhartoyo, membacakan putusan ini dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 26 Juni 2025.

Pertimbangan MK dalam Putusan

MK berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah secara serentak selama ini menimbulkan sejumlah kendala. Hal ini menyebabkan proses demokrasi menjadi rumit dan menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Pemisahan jadwal pemilu diharapkan dapat mengatasi kendala tersebut dan menciptakan proses demokrasi yang lebih efektif dan tertib. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.

Putusan MK terkait pemisahan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah memang menandai perubahan signifikan. Namun, keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas demokrasi dan integritas pemilu sangat bergantung pada komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan. Perubahan teknis saja tidak cukup; perubahan sikap dan komitmen untuk perbaikan substansial menjadi kunci utama keberhasilannya.

Pos terkait