Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 telah menimbulkan gelombang protes dari kalangan pelaku usaha di Indonesia. Aturan ini, yang mencakup cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK), pembatasan Gula-Garam-Lemak (GGL), zonasi penjualan rokok, dan rencana penyeragaman kemasan rokok, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.
Para pelaku usaha memprediksi PP ini akan menekan sektor industri strategis, mengurangi daya beli masyarakat, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Kekhawatiran ini disampaikan oleh berbagai asosiasi pengusaha, termasuk APINDO dan AKRINDO.
Dampak PP 28/2024 terhadap Industri Strategis Indonesia
Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani, secara tegas meminta deregulasi terhadap PP 28/2024. Ia khawatir kebijakan yang terlalu ketat justru akan mendorong peralihan konsumsi ke produk ilegal.
Hal ini akan merugikan pendapatan industri legal dan menurunkan penerimaan negara dari cukai, PPN, dan pajak lainnya. Ini berpotensi melemahkan basis fiskal negara yang selama ini bertumpu pada kontribusi besar dari sektor industri hasil tembakau (IHT).
Industri Hasil Tembakau (IHT) dan industri makanan-minuman merupakan sektor padat karya yang vital bagi perekonomian Indonesia. Kedua sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menyumbang signifikan terhadap penerimaan negara.
Shinta Kamdani menekankan pentingnya kebijakan yang bijaksana agar kinerja dan produktivitas kedua sektor ini tidak terhambat. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen akan sulit tercapai jika tidak ada penyesuaian kebijakan.
Pada tahun 2023, IHT berkontribusi sekitar Rp 213,5 triliun dari cukai, sekitar 10% dari total penerimaan pajak nasional. Sektor ini juga menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja.
APINDO memperingatkan potensi penurunan produksi legal, peningkatan rokok ilegal, dan penurunan penerimaan negara jika PP 28/2024 diterapkan tanpa penyesuaian. Potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga menjadi ancaman nyata.
Jika tidak ada penyesuaian, Indonesia berisiko kehilangan salah satu mesin pertumbuhan ekonomi domestik yang selama ini cukup stabil. Stabilitas ini menopang PDB dan pendapatan negara.
Aturan Zonasi Penjualan Rokok: Realistis atau Berpotensi Konflik?
Aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak juga menuai kritik. Wakil Ketua Umum AKRINDO, Anang Zunaedi, menyebut aturan ini tidak realistis dan berpotensi memicu konflik sosial.
Penegakan aturan ini dapat berdampak pada pedagang kecil, bahkan berujung pada penyitaan barang dagangan dan larangan berdagang. Rokok merupakan produk unggulan dengan perputaran cepat bagi banyak pedagang kecil.
Anang Zunaedi menyarankan agar aturan zonasi penjualan rokok tersebut tidak diterapkan. Ia berpendapat bahwa pendekatan edukatif jauh lebih efektif dan bijak.
Banyak pedagang kecil telah berjualan jauh sebelum satuan pendidikan atau tempat bermain anak didirikan. Mereka juga menyasar konsumen dewasa, bukan anak-anak.
Penjualan rokok berkontribusi signifikan terhadap omzet pedagang, khususnya pedagang mikro. Kontribusi ini bisa mencapai 20-30% dari total penjualan, bahkan lebih besar lagi untuk pedagang ultra mikro.
Edukasi kepada pedagang dan pelajar dianggap sebagai langkah yang lebih tepat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Kontrol dan edukasi lebih diprioritaskan daripada regulasi yang terlalu ketat.
Minimnya Partisipasi Publik dalam Pembentukan PP 28/2024
AKRINDO juga mengkritik proses pembuatan PP 28/2024 yang minim partisipasi publik. Asosiasi ini merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses diskusi dan penyusunan kebijakan tersebut.
Kurangnya representasi dari pelaku usaha, terutama UMKM dan ultra mikro, dalam proses pembuatan PP 28/2024 menjadi sorotan utama. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dihasilkan dinilai kurang representatif dan berpotensi merugikan.
AKRINDO mendesak agar pasal tembakau dalam PP 28/2024 dikaji ulang. Pertimbangan dampak negatif dan minimnya partisipasi publik perlu menjadi pertimbangan serius dalam revisi kebijakan tersebut.
Kesimpulannya, PP 28/2024 perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha, sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan.