Hilirisasi batu bara menjadi langkah krusial bagi Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi dan memperkuat industri nasional. Anggota Komisi XII DPR RI, Dewi Yustisiana, menekankan pentingnya transformasi ini, mengingat besarnya ekspor batu bara Indonesia. Kementerian ESDM mencatat total penjualan batu bara mencapai 811,01 juta ton, dengan 433,17 juta ton diekspor.
Indonesia selama ini terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah. Potensi besar batu bara untuk diolah menjadi produk bernilai tambah perlu dimanfaatkan secara maksimal.
Pemanfaatan Batu Bara untuk Produk Bernilai Tinggi
Salah satu prioritas hilirisasi adalah pengolahan batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). DME dapat menjadi substitusi LPG impor, seperti yang tengah dijalankan PT Bukit Asam di Tanjung Enim.
Selain DME, batu bara juga dapat diolah menjadi metanol dan urea. Bahan baku ini penting untuk industri petrokimia dan pupuk.
PT Bukit Asam, bersama PGN, juga mengembangkan Subtitute Natural Gas (SNG). SNG memungkinkan konversi batu bara menjadi bahan bakar cair seperti diesel dan bensin sintetis.
Diversifikasi produk hilirisasi juga sangat penting. Produk-produk seperti briket, karbon aktif, dan grafit sintetis dapat mendukung berbagai industri, termasuk industri baterai kendaraan listrik.
Akselerasi Hilirisasi dan Tantangannya
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, terus berupaya mempercepat hilirisasi batu bara. Langkah strategis yang diambil meliputi penyediaan insentif fiskal dan non-fiskal.
Insentif tersebut antara lain pembebasan pajak dan kemudahan perizinan. Skema off-taker juga disiapkan untuk menjamin kepastian pasar.
Dewi Yustisiana menekankan bahwa hilirisasi bukan hanya proyek ekonomi semata. Ini merupakan bagian dari agenda besar menciptakan ekonomi yang mandiri dan berdaulat.
Namun, upaya ini menghadapi tantangan. Investasi yang dibutuhkan cukup tinggi, dan Indonesia masih bergantung pada teknologi asing.
Ketidakpastian harga pasar produk hilir juga menjadi kendala. Harga produk hilir terkadang kurang stabil dibandingkan batu bara mentah.
Kolaborasi erat antara pemerintah, BUMN, dan swasta sangat penting. Hal ini untuk memastikan transformasi berjalan konsisten dan berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Stabilitas Harga Batu Bara dan Produksi Global
Harga batu bara Newcastle pada 5 Mei 2025 tetap stabil di USD 102,35 per ton. Hal ini terjadi meskipun harga minyak dunia melemah.
Harga minyak mentah AS ditutup pada level terendah sejak 2021. Ini menyusul keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi pada Juni.
Produksi batu bara India pada April 2025 meningkat. Produksi mencapai 14,01 juta ton, naik dari 10,87 juta ton pada periode yang sama tahun lalu.
Peningkatan produksi batu bara India ini dikaitkan dengan intervensi kebijakan. Pemantauan ketat dan keterlibatan pemangku kepentingan juga berperan penting.
Operasi di blok-blok batu bara baru turut berkontribusi. Contohnya, blok Kotre Basantpur Pachmo dan blok batu bara Naini.
India fokus pada kelancaran produksi dan meminimalkan gangguan pasokan. Hal ini untuk memenuhi permintaan energi negara yang terus meningkat.
Kesimpulannya, hilirisasi batu bara merupakan langkah strategis yang menjanjikan bagi Indonesia. Namun, keberhasilannya membutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, BUMN, dan swasta, serta pengelolaan risiko yang efektif untuk menghadapi tantangan yang ada. Stabilitas harga batu bara di tengah fluktuasi harga minyak global juga menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam strategi hilirisasi ini.