Berbohong: Strategi bertahan hidup atau gejala gangguan mental serius?

Berbohong: Strategi bertahan hidup atau gejala gangguan mental serius?
Sumber: Poskota.com

Berbohong, bagi sebagian orang, menjadi cara mudah mencapai tujuan atau memenuhi keinginan. Terasa lebih efektif dan mudah dibandingkan berkata jujur.

Berbohong adalah kebalikan dari kejujuran. Ini berarti menyembunyikan atau memutarbalikkan kebenaran.

Alasan di Balik Kebiasaan Berbohong

Berbagai alasan psikologis melatarbelakangi kebiasaan berbohong. Pada anak-anak, hal ini seringkali menjadi mekanisme perlindungan diri dari rasa takut atau konsekuensi kesalahan.

Selain rasa takut, keinginan akan pujian, pengakuan, atau menghindari rasa malu juga dapat mendorong seseorang untuk berbohong. Ini merupakan dorongan internal yang cukup kuat.

Dampak Negatif Berbohong terhadap Kesehatan Mental

Kebiasaan berbohong, sekecil apapun, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental jangka panjang. Manipulasi kenyataan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain perlu diwaspadai.

Dr. Lahargo Kembaren, SpKJ, menjelaskan bahwa kebiasaan berbohong sejak dini dapat menjadi pola yang berlanjut hingga dewasa. Ini dapat membentuk karakter dan nilai hidup seseorang.

Lebih jauh, kebiasaan ini mengganggu relasi sosial. Hubungan keluarga, persahabatan, bahkan dinamika masyarakat luas dapat terpengaruh secara negatif.

Awalnya mungkin dilakukan untuk mempertahankan harga diri, namun berbohong dapat merusak karakter dan keseimbangan jiwa. Ini berdampak lebih luas daripada yang terlihat.

Berbohong: Dari Kebiasaan Hingga Gangguan Kepribadian

Berbohong yang berlanjut hingga dewasa dapat berkembang menjadi gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian antisosial, borderline (BPD), hingga narsistik termasuk di antaranya.

Gangguan ini tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga berpotensi merugikan lingkungan sekitar. Ini perlu mendapat perhatian serius.

Pada kasus yang ekstrem, individu yang terbiasa berbohong dapat menunjukkan perilaku tidak seimbang. Mereka bisa memaksakan kehendak hingga menyakiti orang lain.

Sifat adiktif kebohongan juga berbahaya. Pelepasan dopamin saat berbohong dapat memicu perilaku kompulsif dan meningkatkan frekuensi berbohong.

Siklus ini menciptakan suatu ketergantungan, sehingga individu merasa perlu berbohong secara terus menerus. Ini memerlukan intervensi untuk dihentikan.

Memahami akar permasalahan dan dampak kebiasaan berbohong sangat penting. Baik bagi individu maupun lingkungan sekitarnya, kejujuran tetap menjadi pondasi hubungan yang sehat dan berkelanjutan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *