Yogyakarta, kota pelajar yang tengah menikmati libur panjang sekolah dan perayaan 1 Suro, menjadi saksi bisu seminar saya tentang balita susah makan. Bukan liburan yang saya cari, melainkan kesempatan untuk berbagi pengetahuan vital bagi orangtua. Nutrisi yang tepat sangat krusial di masa pertumbuhan emas anak, dan sayangnya, banyak orangtua yang masih merasa kebingungan.
Antusiasme para orangtua muda dalam seminar tersebut sangat tinggi. Mereka haus akan pemahaman tentang tahapan pemberian makan dan perilaku makan anak. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman antar generasi, yang perlu segera diatasi. Bahkan, sejumlah nenek turut hadir, menunjukkan minat mereka untuk belajar.
Kesenjangan Pemahaman Menu MPASI
Fakta mengejutkan terungkap dalam seminar tersebut: banyak orangtua muda saat ini bahkan tidak sarapan. Ayah sibuk dengan kopi dan berangkat kerja, ibu sibuk dengan diet ketat pasca melahirkan. Bayi mereka, yang seharusnya menjadi prioritas, justru terabaikan dalam hal pola makan yang tepat.
Panduan nasional tentang MPASI (Makanan Pendamping ASI) sebenarnya sudah lengkap dan jelas, tersedia bahkan dalam buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) yang familiar dengan sampul berwarna pink. Kementerian Kesehatan juga telah merilis poster yang mudah dipahami untuk berbagai rentang usia anak. Namun, realitanya, banyak orangtua mengabaikan panduan tersebut.
Masalah MPASI yang Kompleks
Praktisnya membeli lauk jadi dan minimnya kebiasaan memasak di rumah turut memperburuk situasi. Anak-anak pun terbiasa mengonsumsi produk kemasan yang diklaim “terukur dan tertakar”. Para tenaga kesehatan pun terkadang lebih banyak merekomendasikan produk kemasan daripada mengajarkan orangtua untuk membuat MPASI sederhana dari bahan-bahan alami.
Akibatnya, masalah baru muncul ketika anak menolak bubur dan perlu beralih ke tekstur makanan yang lebih padat. Orangtua muda seringkali kebingungan, sementara para nenek cenderung memberikan biskuit kemasan atau susu formula, terpengaruh iklan-iklan yang kurang bertanggung jawab.
Tren MPASI “Mamagram” vs Makanan Tradisional
Banyak balita saat ini dijejali menu-menu MPASI yang terkesan modern dan “Instagrammable”, sering kali dengan istilah asing yang membuat orangtua merasa tertekan untuk mengikutinya. Contohnya, *banana pancake*, *nugget*, *spaghetti brule*, *oatmeal salmon and cheese*, dan *chawan mushi*. Tren ini membuat orangtua di daerah merasa kurang percaya diri jika tidak mampu membuatnya.
Padahal, makanan tradisional Indonesia kaya akan gizi. Sebagai contoh, saya baru saja menikmati hidangan mangut lele, pindang kudus, brongkos telur dan kacang tolo, botok mlanding, dan lodeh rebung dengan kulit melinjo. Cita rasanya yang lezat menunjukkan kekayaan gizi yang terkandung di dalamnya.
Kembali ke Dasar: Mencintai Makanan Rumah
Esensi makan adalah tentang “pulang ke rumah,” tentang asal-usul, dan kearifan lokal. Bukan berarti kita harus mengabaikan makanan dari negara lain, tetapi kita perlu lebih menghargai kekayaan gizi yang ada di makanan tradisional.
Kita perlu mengurangi pemberian makanan olahan yang tinggi gula dan lemak, seperti *pancake* dan keju olahan. Kita juga harus menghindari mengejar berat badan anak secara berlebihan tanpa memahami perkembangannya. ASI eksklusif juga penting, dan orangtua perlu memahami pentingnya stimulasi sensorik dan motorik untuk anak di usia 4 bulan ke atas, sehingga transisi ke MPASI berjalan lancar.
Orangtua perlu menjadi panutan bagi anak-anaknya dalam hal pola makan sehat. Pendampingan dan dukungan orangtua sangat penting dalam membentuk kebiasaan makan anak sejak dini. Dengan memahami hal ini, kita dapat menciptakan generasi masa depan yang lebih sehat dan berdaya. Mari kembali kepada makanan rumahan yang bergizi dan menyehatkan.