Rivalitas antara Iran dan Amerika Serikat melampaui batas lapangan hijau, tercermin dalam dua pertemuan bersejarah di Piala Dunia. Sejarah pertemuan kedua negara di ajang bergengsi ini sarat dengan muatan politik dan ketegangan geopolitik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Pertemuan pertama terjadi di Piala Dunia 1998. Saat itu, hubungan Iran dan Amerika Serikat sedang memanas akibat perbedaan pandangan politik yang tajam. Bahkan, hal sepele seperti protokol jabat tangan sebelum pertandingan pun menjadi simbol ketegangan. Iran, sebagai tim B, seharusnya menghampiri Amerika Serikat (tim A) sesuai aturan FIFA. Namun, Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, melarang hal tersebut.
Media officer FIFA, Mehrdad Masoudi, menjelaskan, “Salah satu masalah awal adalah Iran diposisikan sebagai tim B dan AS adalah tim A. Berdasarkan regulasi FIFA, tim B harus bergerak menghampiri tim A untuk bersalaman sebelum pertandingan, namun Pemimpin Tertinggi Iran memberi perintah bahwa Iran tidak boleh berjalan menghampiri Amerika.”
Ketegangan semakin meningkat dengan kekhawatiran akan penyusupan kelompok teroris dari Irak yang berencana melancarkan protes selama pertandingan. Meskipun demikian, pertandingan tetap berjalan dengan menegangkan. Foto bersama pemain kedua tim menjadi ikonik, menggambarkan pertemuan yang penuh dengan konteks politik yang kompleks.
Iran berhasil mengalahkan Amerika Serikat dengan skor 2-1 berkat gol Hamid Estili dan Mehdi Mahdavikia. Kemenangan ini disambut meriah oleh rakyat Iran. Bagi Amerika Serikat, meskipun kalah, pertandingan tersebut dianggap sebagai sebuah terobosan. Bek AS, Jeff Agoos, menyatakan, “Kami melakukan lebih banyak hal dalam 90 menit pertandingan dibandingkan yang dilakukan politikus dalam 20 tahun.”
Pertemuan Kedua di Piala Dunia 2022: Sebuah Babak Baru
Dua puluh empat tahun kemudian, kedua negara kembali bertemu di Piala Dunia 2022. Pertandingan ini menjadi laga terakhir fase grup, dengan Inggris telah memastikan diri sebagai juara grup. Iran memiliki tiga poin, sementara Amerika Serikat mengantongi dua poin.
Iran hanya membutuhkan hasil imbang untuk lolos ke babak 16 besar, sebuah pencapaian bersejarah. Namun, Amerika Serikat berhasil meraih kemenangan tipis 1-0 melalui gol Christian Pulisic, mengakhiri mimpi Iran untuk melaju ke fase gugur.
Kemenangan Amerika Serikat ini sekaligus menjadi bukti kemampuan mereka untuk mengatasi tekanan politik dan fokus pada permainan. Sementara itu, Iran harus kembali menunda impian untuk mencapai babak selanjutnya Piala Dunia.
Prospek Masa Depan: Piala Dunia 2026
Ketegangan geopolitik antara Iran dan Amerika Serikat tetap berlanjut. Ironisnya, Amerika Serikat akan menjadi salah satu tuan rumah Piala Dunia 2026, sementara Iran telah memastikan tempatnya di turnamen tersebut. Kemungkinan pertemuan ketiga di Piala Dunia mendatang tentu akan menjadi sorotan dunia, mengingat sejarah pertemuan sebelumnya yang sarat dengan muatan politik.
Pertandingan-pertandingan ini tidak hanya menjadi ajang olahraga semata, tetapi juga menjadi cerminan dari hubungan yang rumit dan kompleks antara dua negara adidaya. Baik kemenangan maupun kekalahan, setiap laga menyimpan kisah dan makna yang jauh melampaui skor akhir di papan pertandingan.
Melihat kembali sejarah pertemuan kedua negara ini, kita dapat melihat betapa olahraga dapat menjadi panggung bagi dinamika politik internasional yang kompleks dan menarik untuk diikuti. Pertandingan-pertandingan ini menjadi lebih dari sekadar pertandingan sepak bola; mereka menjadi simbol dari pertarungan ideologi dan kepentingan yang jauh lebih besar.