Tuduhan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyebut negara-negara BRICS sebagai “anti-Amerika” telah dibantah keras oleh para pemimpin blok tersebut. Pernyataan ini muncul di tengah ancaman Trump untuk mengenakan tarif tambahan pada negara-negara BRICS, memicu reaksi tegas dari para pemimpinnya di KTT BRICS di Rio de Janeiro.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, dalam pernyataan yang kuat, menolak tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa dunia tidak membutuhkan seorang pemimpin yang bertindak seperti kaisar. Ia menekankan BRICS sebagai wadah kerjasama ekonomi yang lebih setara, bukan sebagai blok yang menentang negara lain.
Bantahan Tegas dari BRICS terhadap Tuduhan Anti-Amerika
Ancaman tarif tambahan dari AS sebesar 10 persen, dan ancaman tarif hingga 100 persen jika BRICS melemahkan dominasi dolar AS, direspons Lula dengan penekanan akan perlunya alternatif selain dolar AS dalam perdagangan internasional. Perubahan ini, kata Lula, perlu dilakukan secara bertahap dan hati-hati melalui diskusi antar bank sentral.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengambil pendekatan yang lebih diplomatis. Ia menegaskan BRICS sebagai wadah kerjasama saling menguntungkan, bukan aliansi yang bersaing dengan kekuatan lain. Ramaphosa optimistis akan tercapainya kesepakatan perdagangan dengan AS, menekankan agar tarif tidak digunakan sebagai alat pemaksaan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, juga menegaskan bahwa BRICS tidak menargetkan negara mana pun. Kerjasama BRICS didasarkan pada saling menguntungkan dan tidak ditujukan kepada pihak ketiga.
Kremlin menyatakan kerja sama Rusia dengan BRICS dilandaskan pada visi global yang serupa, bukan untuk melawan negara lain. India, salah satu pendiri BRICS, belum memberikan pernyataan resmi terkait ancaman Trump.
Ancaman Tarif dan Isu Dominasi Dolar AS
Ancaman Trump untuk mengenakan tarif tambahan pada negara-negara BRICS memicu kekhawatiran global. Meskipun belum ada keputusan resmi, sumber menyatakan AS dapat memberlakukan tarif jika kebijakan BRICS dianggap “anti-Amerika”.
Ancaman ini bukan hanya soal tarif, tetapi juga mengenai dominasi dolar AS dalam perdagangan global. Trump memperingatkan tarif hingga 100 persen jika BRICS mencoba melemahkan peran dolar AS.
Lula menegaskan perlunya alternatif selain dolar AS dalam perdagangan internasional. Proses ini, menurutnya, harus dilakukan secara bertahap dan melibatkan diskusi antar bank sentral.
Peran BRICS di Tengah Gejolak Geopolitik
Beberapa anggota BRICS dan mitra memiliki ketergantungan ekonomi tinggi terhadap AS. Indonesia, anggota baru BRICS, mengirimkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ke AS untuk membahas isu tarif.
Malaysia, sebagai negara mitra BRICS, menyatakan tetap menjaga kebijakan ekonomi independen. Mereka tidak fokus pada penyelarasan ideologis.
BRICS memposisikan diri sebagai alternatif forum multilateral di tengah stagnasi G7 dan G20. Mereka mengkritik pendekatan “America First” yang diusung Trump.
Pernyataan bersama para pemimpin BRICS mengecam pemboman Iran dan memperingatkan kenaikan tarif dapat mengganggu stabilitas perdagangan dunia. Namun, Trump kembali mengeluarkan ancaman sanksi terhadap negara yang bergabung BRICS.
BRICS, yang berawal dari Brasil, Rusia, India, dan China, kini telah berkembang pesat dengan bergabungnya Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Lebih dari 30 negara menyatakan minat untuk bergabung.
Keberadaan BRICS sebagai alternatif forum multilateral dan respon terhadap ancaman AS menunjukkan pergeseran dinamis dalam geopolitik global. Masa depan BRICS dan implikasinya terhadap tatanan ekonomi dan politik internasional patut untuk terus dipantau.
