Sejumlah kasus kejahatan yang melibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) di Jepang baru-baru ini menjadi sorotan. Dari perampokan hingga pemasangan bendera perguruan silat, berbagai insiden ini menimbulkan pertanyaan tentang akar permasalahan yang mendasarinya.
Kasus terbaru melibatkan tiga WNI yang ditangkap karena diduga melakukan perampokan di Hokota, Prefektur Ibaraki pada Januari 2025. Penangkapan dilakukan lima bulan kemudian, dan motif para pelaku masih dalam penyelidikan. Kementerian Luar Negeri RI telah memberikan pendampingan hukum kepada mereka, yang diketahui berstatus overstayer.
Rentetan Kasus Kejahatan yang Melibatkan WNI di Jepang
Kasus perampokan di Hokota bukanlah satu-satunya insiden yang melibatkan WNI di Jepang. Sebelumnya, video pemasangan bendera Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) di sebuah jembatan viral dan menuai kritik.
Pada Januari 2025, sebelas WNI ditangkap di Isesaki, Prefektur Gunma, terkait perampokan yang mengakibatkan satu korban meninggal. Kasus perampokan lainnya terjadi di Kakegawa, Prefektur Shizuoka, dan Fukuoka pada tahun 2024. Bahkan pada April 2023, tiga WNI ditangkap atas tuduhan pembunuhan.
Meningkatnya Jumlah WNI di Jepang: Faktor Permintaan Tenaga Kerja
Jumlah WNI di Jepang meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait dengan populasi Jepang yang menua dan kebutuhan akan tenaga kerja, terutama di sektor pertanian dan perikanan.
Kerja sama Indonesia-Jepang melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) serta program pemagangan (kenshusei) berkontribusi terhadap peningkatan jumlah WNI di Jepang. Program ini membuka peluang kerja di berbagai bidang, dari perawat hingga manufaktur.
Data menunjukkan lebih dari 87 ribu WNI mengikuti program magang dan 44 ribu lainnya berstatus pekerja berketerampilan khusus hingga Juni 2024. Kebutuhan tenaga kerja ini juga diungkapkan oleh pejabat Japan International Cooperation Agency (JICA).
Tantangan Integrasi dan Peran Pemerintah dalam Pencegahan
Meningkatnya jumlah WNI di Jepang juga menghadirkan tantangan. Beberapa insiden menunjukkan kurangnya pemahaman budaya dan kesadaran hukum di kalangan beberapa WNI.
Para ahli menekankan pentingnya edukasi budaya dan hukum bagi calon pekerja migran Indonesia sebelum keberangkatan. Sosialisasi yang komprehensif, yang mencakup aspek budaya dan hukum di Jepang, dinilai penting untuk mencegah kejadian serupa.
Peran KBRI dan KJRI dalam memberikan sosialisasi dan bimbingan kepada komunitas WNI juga perlu ditingkatkan. Pemerintah juga berupaya meningkatkan pendidikan kedisiplinan dan kesadaran hukum melalui Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).
Komunitas WNI di Jepang sendiri terbentuk melalui berbagai jalur, termasuk paguyuban berdasarkan daerah asal, wilayah, agama, atau hobi. Paguyuban memiliki peran penting dalam membantu adaptasi dan integrasi WNI baru.
Banyak WNI datang ke Jepang untuk akumulasi modal atau mencari kehidupan menetap, bahkan hingga menikah dengan warga lokal. Fenomena ini cukup populer di media sosial, mencerminkan dinamika kehidupan WNI di Jepang.
Para WNI yang sudah lama tinggal di Jepang menekankan pentingnya ketaatan pada aturan setempat dan kesadaran akan hidup di negara orang. Mereka juga menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan para pemimpin komunitas WNI untuk memberikan bimbingan dan edukasi.
Kesimpulannya, peningkatan kesadaran hukum, pemahaman budaya Jepang, dan peran aktif pemerintah serta komunitas WNI sangat penting untuk mencegah terulangnya insiden-insiden yang melibatkan WNI di Jepang. Hal ini untuk memastikan integrasi yang harmonis dan menjaga citra positif Indonesia di mata dunia.
