Keadilan, dalam konteks hukum, seringkali menjadi perdebatan panjang. Tradisi positivisme hukum menyamakan keadilan dengan kepastian hukum, menganggap putusan hakim adil jika murni berdasarkan undang-undang. Hakim, seolah hanya corong hukum, mendeklamasikan aturan tertulis tanpa tafsir lebih.
Namun, pandangan ini terlalu sempit. Realitas menunjukkan putusan legal seringkali terasa tidak adil bagi masyarakat. Sosiologi hukum menawarkan perspektif yang lebih komprehensif.
Kesenjangan Hukum Positif dan Keadilan Sosial
Sosiologi hukum memandang hukum sebagai produk sosial, merefleksikan nilai-nilai dan kekuasaan dalam masyarakat. Ia mempertanyakan kesenjangan antara hukum tertulis (law in books) dan praktik hukum (law in action).
Putusan hakim yang jauh dari keadilan mungkin disebabkan hakim terlalu terpaku pada positivisme, mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Pasal 183 KUHAP, misalnya, menuntut dua alat bukti dan keyakinan hakim. Positivisme menekankan pemenuhan syarat formal alat bukti.
Namun, putusan yang memenuhi syarat formal tapi melukai rasa keadilan—misalnya, pelaku kejahatan kerah putih mendapat hukuman ringan—menunjukkan disonansi antara hukum positif dan keadilan sosial. Sistem yang mengedepankan formalitas di atas substansi bisa jadi biang keladinya.
Teori Kritis dan Hukum Alam: Perspektif yang Menonjol
Teori hukum kritis (Critical Legal Studies) menganalisis interaksi kompleks antara kekuasaan dan moralitas dalam peradilan. Hukum, menurut teori ini, bukan netral; ia bisa menjadi alat kelompok dominan untuk mempertahankan status quo.
Putusan tidak adil, bukan anomali, melainkan manifestasi struktur kekuasaan yang timpang. Suap, atau tekanan politik, dapat membuat independensi hakim—yang idealnya merupakan benteng keadilan—hanya menjadi utopia.
Independensi hakim, sebagai prasyarat trias politica, seringkali menjadi tameng untuk putusan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Teori hukum alam, di sisi lain, menekankan prinsip-prinsip keadilan universal yang berada di atas hukum positif.
Putusan hakim yang melanggar rasa kemanusiaan atau keadilan dasar, melanggar prinsip “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” (Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman).
Hati Nurani: Filter Keadilan Substantif
Hakim menentukan kualifikasi perbuatan dan unsur pidana secara in concreto. Apakah perbuatan terbukti sebagai penyalahgunaan wewenang atau memperkaya diri sendiri? Apakah unsur “niat jahat” (mens rea) terbukti?
Keyakinan hakim mengisi ruang abu-abu ini, menghubungkan fakta dengan unsur delik. Jika hakim ragu satu unsur delik terpenuhi, ia tak dapat mengkualifikasikan perbuatan sebagai tindak pidana.
Namun, kadang kesimpulan logis terasa tidak adil. Misalnya, pencurian kecil oleh orang miskin yang kelaparan. Di sinilah hati nurani hakim berperan, mempertimbangkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman).
Hati nurani dapat memengaruhi pemidanaan (pidana seminimal mungkin) atau pemilihan pasal yang lebih ringan. Ini adalah perjumpaan antara positivisme dan hukum alam (natural law).
Diskresi yudisial yang bertujuan mulia ini perlu integritas tinggi agar tak menjadi kesewenang-wenangan. Keyakinan yang adil seimbang antara lex lata (hukum yang ada) dan lex ferenda (hukum yang seharusnya).
Namun, keyakinan hakim bisa menjadi bumerang jika terkontaminasi bias (pribadi, rasial, gender, sosial, atau agama), dibentuk oleh tekanan (intervensi politik, suap, ancaman), atau tanpa dasar rasional.
Independensi hakim sangat penting; keyakinan tulus hanya ada dalam lingkungan bebas tekanan. Keyakinan yang rasional dan ilmiah kunci putusan yang adil.
Pada akhirnya, bagaimana keyakinan hakim memengaruhi putusan adalah cerminan integritas dan kompetensi. Keyakinan yang bersih, tulus, dan rasional adalah kunci keadilan, menerangi jalan di tengah keraguan.
Frasa “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi panduan spiritual hakim, menghubungkan perbuatan pidana, fakta hukum, dan keadilan masyarakat.