Partai NasDem secara tegas menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak. Mereka menilai keputusan tersebut sebagai tindakan yang merampas kedaulatan rakyat. Pernyataan penolakan ini disampaikan melalui berbagai pernyataan resmi, baik dari Bendahara Umum partai maupun Anggota Majelis Tinggi.
Alasan penolakan tersebut didasari oleh beberapa poin penting yang dirasa merugikan sistem demokrasi Indonesia. Putusan MK dianggap tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah praktis di lapangan.
Penolakan NasDem: Putusan MK Dinilai Aneh dan Merusak Kepastian Hukum
Bendahara Umum Partai NasDem, Ahmad Sahroni, menyatakan keprihatinannya atas putusan MK tersebut. Ia menilai putusan MK seringkali berubah-ubah tanpa pertimbangan matang, sehingga mengabaikan asas kepastian hukum.
Putusan tersebut dinilai aneh dan menimbulkan kebingungan. Sahroni mempertanyakan bagaimana nasib kepala daerah dan anggota DPRD yang masa jabatannya berakhir di tengah periode transisi.
Apakah masa jabatan mereka akan diperpanjang? Jika ya, hal ini akan merusak demokrasi karena rakyat hanya memilih mereka untuk masa jabatan lima tahun, bukan lebih.
Putusan MK Dipandang Cacat Konstitusional dan Membingungkan Publik
Sahroni menambahkan bahwa putusan MK tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi juga menimbulkan kebingungan di kalangan publik. Sistem pemilu yang sudah kompleks semakin diperumit oleh perubahan aturan yang terus-menerus.
Perubahan aturan Pemilu yang seringkali terjadi dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian. Hal ini bukan hanya membingungkan partai politik, tetapi juga masyarakat luas.
Konsistensi dan stabilitas dalam sistem demokrasi menjadi penting dan terancam dengan putusan ini.
Potensi Krisis Konstitusional Akibat Pemisahan Pemilu
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat, dalam konferensi pers di NasDem Tower Jakarta Pusat, turut menyuarakan penolakan terhadap putusan MK. Ia menekankan bahwa MK telah melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
Lestari menjelaskan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk mengubah norma dalam UUD 1945. Putusan terkait pemisahan pemilu dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pergeseran jadwal pemilihan kepala daerah dan DPRD yang melampaui masa pemilihan 5 tahun dianggap inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22B UUD 1945.
Pelanggaran Konstitusional yang Potensial Terjadi
Lestari memperingatkan bahwa putusan MK berpotensi menimbulkan krisis konstitusional, bahkan deadlock konstitusional. Pelaksanaan putusan ini justru berpotensi melanggar konstitusi.
Pasal 22E UUD NRI 1945 mengatur bahwa pemilu serentak dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu yang bervariasi, menciptakan celah pelanggaran konstitusional.
Jika setelah lima tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD, maka akan terjadi pelanggaran konstitusional. Ini menjadi poin krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Kesimpulannya, penolakan Partai NasDem terhadap putusan MK mengenai pemisahan pemilu bukanlah semata-mata sikap politik partisan. Lebih dari itu, penolakan ini dilandasi oleh kekhawatiran atas potensi kerusakan sistem demokrasi dan pelanggaran konstitusi yang dapat ditimbulkan oleh putusan tersebut. Perdebatan ini menunjukkan pentingnya pertimbangan matang dan pemahaman mendalam terhadap implikasi dari setiap keputusan hukum yang berkaitan dengan sistem penyelenggaraan negara, khususnya demokrasi. Kejelasan dan konsistensi hukum menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan bermartabat.
