Tepat 27 Juni 2025, genap 1000 hari Tragedi Kanjuruhan menorehkan duka mendalam bagi sepak bola Indonesia. Peristiwa kelam 1 Oktober 2022 ini bukan hanya merenggut nyawa ratusan suporter, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga korban, suporter, dan masyarakat luas.
Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum refleksi penting. Kita perlu menelaah kegagalan manajemen keamanan dan penegakan hukum yang terjadi. Perbaikan menyeluruh dalam sistem keamanan stadion dan penegakan hukum yang adil menjadi tuntutan utama.
Kronologi Tragedi Kanjuruhan: Malam Kelam di Stadion
Pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Kekalahan ini memicu kekecewaan besar pendukung Arema FC.
Setelah peluit panjang berbunyi, ratusan suporter turun ke lapangan. Aparat keamanan merespons dengan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton, memicu kepanikan massal.
Ribuan penonton berdesakan menuju pintu keluar yang sebagian masih terkunci atau sempit. Akibatnya, banyak penonton terjatuh, terinjak-injak, dan meninggal dunia karena sesak napas.
Polisi menembakkan gas air mata ke tiga titik: tribun selatan (7 kali), tribun utara (1 kali), dan lapangan (3 kali). Tindakan ini dinilai sebagai penyebab utama jatuhnya korban jiwa.
Investigasi dan Proses Hukum: Keadilan yang Tertunda?
Kapolda Jawa Timur saat itu, Irjen Nico Afinta, menyatakan kerusuhan disebabkan penumpukan massa melebihi kapasitas stadion. Sementara Kadinkes Kabupaten Malang, Wiyanto Widodo, menyebut banyak korban meninggal karena sesak napas akibat gas air mata dan desakan massa.
Enam orang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, vonis yang dijatuhkan menuai kontroversi, dianggap terlalu ringan dan tak menyentuh aktor utama tragedi.
- Abdul Harris (Ketua Panitia Pelaksana Arema FC): 1,5 tahun penjara.
 - Ahmad Hadian Lukita (Direktur PT LIB): Belum disidangkan.
 - Suko Sutrisno (Security Officer): 1 tahun penjara.
 - Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres Malang): 2,5 tahun penjara.
 - Hasdarmawan (Brimob Polda Jawa Timur): 1 tahun 6 bulan penjara.
 - Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang): 2 tahun penjara.
 
Keluarga korban dan berbagai pihak menilai hukuman tersebut tidak adil dan minim transparansi.
Kejanggalan dan Kritik terhadap Proses Hukum
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah kejanggalan dalam proses pengungkapan dan peradilan.
- Penyebaran hoaks terkait penggunaan gas air mata yang sesuai SOP.
 - Dugaan obstruction of justice berupa penggantian rekaman CCTV.
 - Rekonstruksi yang dilakukan di luar TKP (Stadion Kanjuruhan).
 - Intimidasi terhadap saksi dan keluarga korban.
 - Persidangan daring yang mengurangi transparansi.
 - Konflik kepentingan dengan anggota Polri sebagai penasihat hukum terdakwa.
 - Dominasi kesaksian dari pihak kepolisian.
 - Hakim dan Jaksa dianggap pasif dalam menggali fakta.
 - Pengaburan fakta terkait penembakan gas air mata ke arah tribun.
 
Temuan-temuan ini mempertanyakan keadilan dan transparansi dalam proses hukum Tragedi Kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga. Perbaikan standar keamanan stadion, protokol pengamanan yang memprioritaskan keselamatan suporter, dan penegakan hukum yang transparan dan adil mutlak diperlukan. Semoga tragedi ini menjadi yang terakhir dan tak terulang kembali di Indonesia.
Seribu hari berlalu, namun luka Tragedi Kanjuruhan tetap membekas. Semoga evaluasi menyeluruh dan reformasi sistematis dapat mencegah tragedi serupa di masa mendatang, serta memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkan.
